Aksara Bilang-Bilang dan Kecerdasan Perempuan Nusantara

- 21 Maret 2022, 17:45 WIB
/

MEDIA PEMALANG - Dalam sejarah sistem tulisan di dunia, modifikasi dan reformasi sebuah tulisan oleh seorang pribadi secara khusus adalah hal yang sangat luar biasa. Tak banyak yang bisa melakukannya. Sama seperti raja Korea Sejong yang menemukan dan menyebarluaskan tulisan Han’gul yang unik tahun 1446. Begitu juga reformasi tulisan yang dilakukan oleh Qin dan Li Sun sekitar tahun 200 Sebelum Masehi.

Aksara Bilang-Bilang adalah satu dari sedikit aksara yang diciptakan oleh seorang pribadi. Ia merupakan modifikasi dari percampuran antara aksara Arab dengan Lontaraq. Aksara ini berimplikasi besar pada zaman penjajahan.

Diciptakan oleh Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa Matinroe ri Tucae (1812-1876). Retna Kencana Colliq Pujie adalah nama kecilnya. Arung Pancana Toa adalah gelarnya setelah menjabat sebagai ratu. Matinroe ri Tucae, ‘yang Tidur di Tucae’ menunjuk pada tempatnya ‘ditidurkan’, dimakamkan.

Colliq Pujie adalah wanita bangsawan berdarah Bugis-Melayu. Ia tumbuh dan besar di lingkungan istana Tanete. Dia membaca beragam karya dalam perpustakaan kerajaan. Menghapal Alquran dan melagukan sureq I La Galigo pada beberapa ritual. Ia mengerti bahasa La Galigo yang pada zamannya pun sudah tidak dituturkan lagi.

Ia menjadi ratu di Pancana, salah satu kerajaan bawahan Tanete yang terletak di tepi pantai (sekarang masuk dalam kabupaten Barru, Sulawesi Selatan). Ayahnya La Rumpang Megga, yang dilantik menjadi raja Tanete yang ke-19 pada tahun 1840. Sementara ibunya keturunan Melayu-Johor yang neneknya pernah menjadi syahbandar terkaya di Makassar.

Baca Juga: Profil dan Biodata Raden Saleh, Berjuang dengan Lukisan

Karena kesibukan ayahnya mengurus kerajaan-kerajaan kecil yang bernaung di bawah Tanete, sehingga sering bepergian ke pedalaman sampai berbulan-bulan, maka seluruh urusan kerajaan termasuk administrasinya dikendalikan oleh Colliq Pujie. Ia menikah dengan La Tanampareq To Apatorang, raja Ujung. Dari perkawinannya ia dikaruniai tiga orang anak, dua di antaranya adalah prempuan, We Tenriolle Siti Aisyah dan I Gading, serta anak lelakinya bernama La Makkawaru.

Tahun 1855, La Rumpang, ayah Colliq Pujie, meninggal dunia. Dia digantikan oleh We Tenriolle, putri Colliq Pujie, yang kemudian dilantik sebagai Datu Tanete. Pewarisan takhta kepada putri Colliq Pujie adalah permintaan pribadi La Rumpang sebab dia tidak ingin takhtanya jatuh kepada La Makkawaru, putra Colliq Pujie, yang memiliki tingkah laku buruk.

Selang dua tahun, terjadi pertengkaran antara Datu Tanete dan anggota keluarganya, termasuk ibunya. Hal ini terjadi karena ternyata putri Colliq Pujie tersebut bekerja sama dengan Belanda. Colliq Pujie yang notabene merupakan penentang kuat kekuasaan Belanda sangat marah dan melakukan perlawanan. Khawatir akan pengaruh dan kharisma Colliq Pujie yang begitu kuat, Belanda akhirnya mengasingkannya ke Makassar.

Halaman:

Editor: Muhammad Aswar


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah