Fakta Mengejutkan! Jumlah Perjaka dan Perawan di Jepang Lebih Banyak Daripada yang Menikah!

- 4 Maret 2024, 14:00 WIB
Ilustrasi-Warga Jepang diantara jalanan Kota yang lengang. Populasi penduduk di negara ini diperkirakan menyusut hingga 40 persen pada tahun 2060.
Ilustrasi-Warga Jepang diantara jalanan Kota yang lengang. Populasi penduduk di negara ini diperkirakan menyusut hingga 40 persen pada tahun 2060. /Pixabay.com/ANTHR_Photoblog/

MEDIAPEMALANG.COM - Jepang menghadapi tantangan serius dengan menurunnya angka kelahiran yang terus merosot, menyebabkan kekhawatiran akan keberlangsungan negara itu. Salah satu penyebab utamanya adalah semakin sedikitnya anak muda yang mau menikah, dengan tingkat kesendirian yang semakin tinggi.

Data terbaru menunjukkan penurunan drastis dalam angka kelahiran bayi di Jepang selama delapan tahun terakhir. Bahkan, jumlah pernikahan juga mengalami penurunan signifikan, dengan kurang dari 500 ribu pasangan menikah untuk pertama kalinya dalam 90 tahun terakhir.

Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh banyaknya anak muda Jepang yang enggan untuk menikah atau membentuk keluarga. Mereka menghadapi tekanan ekonomi yang tinggi, kesulitan mencari pekerjaan yang stabil, dan biaya hidup yang terus meningkat.

Survei menunjukkan bahwa sebagian besar wanita dan pria muda di Jepang enggan untuk menikah karena kondisi ekonomi yang sulit, gaji yang tidak sebanding dengan biaya hidup, dan lingkungan kerja yang tidak mendukung. Seiring dengan penurunan angka pernikahan, persentase orang yang belum pernah berhubungan intim juga mengalami peningkatan signifikan.

Masalah ekonomi juga turut berperan dalam fenomena ini. Pria dengan penghasilan rendah memiliki kemungkinan lebih besar untuk tetap lajang dibandingkan dengan yang berpenghasilan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa aspek ekonomi memainkan peran penting dalam keputusan untuk menikah atau tidak.

Meskipun tingkat kesendirian di Jepang lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain seperti AS, Inggris, dan Australia, hal ini seharusnya tidak dianggap sebagai stigma. Pentingnya untuk memahami alasan di balik kurangnya aktivitas seksual atau pengalaman, serta bagaimana dinamika pasar pernikahan dapat berkembang dengan adanya pergeseran nilai-nilai dan tren dalam masyarakat.

Kesimpulannya, krisis populasi Jepang bukanlah masalah yang bisa dianggap remeh. Diperlukan pemahaman yang mendalam tentang faktor-faktor yang menyebabkan penurunan angka kelahiran dan pernikahan, serta upaya untuk menanggulangi tantangan ini dengan pendekatan yang holistik dan komprehensif.***

Editor: Dwi Andri Yatmo


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x