Puasa Syawal Haruskah 6 Hari di Awal Syawal dan Berturut-turut? Simak Baik-Baik 4 Pendapat Ulama Berikut Ini

3 Mei 2022, 04:45 WIB
Benarkah puasa sunnah Syawal harus dikerjakan 6 hari bertutut-turut? Simak 3 pendapat ulama berikut ini baik-baik. /

MEDIA PEMALANG - Benarkah puasa sunnah Syawal harus dikerjakan 6 hari berturut-turut? Atau adakah aturan yang baru berkaitan dengan puasa ini?

Lantas, dalam pengerjaannya apakah harus 6 hari di awal syawal dan haruskan
6 hari berturut-turut?

Berikut ini adalah penjelasan berkaitan dengan pengerjaan puasa sunnah Syawal yang kami kutip dari buku Fiqih Ramadhan karya Ustad Ahmat Sarwat, Lc.

Haruskah puasa Syawal dilakukan berturut-turut atau tidak, para fuqaha berbeda pendapat.

Baca Juga: Cara Meminta Maaf Kepada Orang Tua Saat Lebaran, Cocok Bagi Introvert

Mengapa berbeda pendapat? Tidak adakah aturan dari nabi SAW tentang tata cara puasa Syawal? Jawabnya memang tidak ada aturannya.

Dan oleh karena itulah makanya para ulama berbeda pendapat. Seandainya ada hadits shahih yang menjelaskan bahwa puasa Syawal itu harus berturut-turut sejak tanggal-tanggal Syawal, maka pastilah semua ulama bersatu dalam pendapat.

Namun, karena tidak ada satu pun dalil qath'i yang sharih dan shahih tentang aturan itu, amat wajar bila hal itu masuk ke wilayah ijtihad.

Baca Juga: Cara Meminta Maaf Kepada Orang Tua Saat Lebaran Bahasa Jawa dan Artinya

Kalau yang berijtihad hanya orang awam seperti kita, mungkin bisa kita abaikan. Akan tetapi kita merujuk kepada orang yang paling tinggi levelnya dalam berijtihad.

Mereka  adalah para imam mazhab dan pendirinya langsung. Berikut ini adalah pendapat mereka:

a. Asy-Syafi'iyah dan sebagian Al-Hanabilah

Al-Imam Asy-Syafi'i dan sebagian fuqaha Al-Hanabilah mengatakan bahwa afdhalnya puasa 6 hari Syawal itu dilakukan secarar berturut-turut selepas hari Idulfitri.

Baca Juga: 5 Ide Buah Tangan untuk Calon Mertua Saat Lebaran, Auto Lampu Hijau!

Sehingga afdhalnya menurut mazhab ini puasa Syawwal dilakukan sejak tanggal 2 hingga tanggal 7 Syawal. Dengan alasan agar jangan sampai timbul halangan bila ditunda-tunda.

Nampaknya pendapat ini didukung oleh beberapa kalangan umat Islam di negeri ini. Misalnya di daerah Pekalongan Jawa Tengah.

Sebagian masyarakat muslim di sana punya kebiasaan puasa Syawal 6 hari berturut-turut sejak tanggal 2 hingga tanggal 7 syawal. Sehingga ada lebaran lagi nanti pada tanggal 8 Syawal.

b. Mazhab Al-Hanabilah

Baca Juga: Sebelum Shalat Idul Fitri Sholat Apa Dulu yang Dikerjakan, Bolehkah Shalat Sunnah sebelum Shalat Ied?

Tetapi kalangan resmi mazhab Al-Hanabilah tidak membedakan apakah harus berturut-turut atau tidak, sama sekali tidak berpengaruh dari segi keutamaan.

Sehingga dilakukan kapan saja asal masih di bulan Syawal, silahkan saja. Tidak ada keharusan untuk berturut-turut, juga tidak ada ketentuan harus sejak tanggal 2 Syawal.

Mereka juga mengatakan bahwa puasa 6 hari Syawal ini hukumnya tidak mustahab bila yang melakukannya adalah orang yang tidak puasa bulan Ramadan.

c. Mazhab Al-Hanafiyah

Baca Juga: Hati-Hati Berhubungan Intim di Malam Takbir Hari Raya Idul Fitri, Ini Hukum dan Akibatnya menurut Para Ulama

Sedangkan kalangan Al-Hanafiyah yang mendukung kesunnahan puasa 6 hari Syawal mengatakan sebaliknya.

Mereka mengatakan bahwa lebih utama bila dilakukan dengan tidak berturut-turut. Mereka menyarankan agar dikerjakan 2 hari dalam satu minggu.

d. Mazhab Al-Malikiyah

Adapun kalangan fuqaha Al-Malikiyah lebih ekstrim lagi. Mereka malah mengatakan bahwa puasa itu menjadi makruh bila dikerjakan bergandengan langsung dengan bulan Ramadan.

Baca Juga: Apa Hukum Menikahi Sepupu Sendiri dalam Islam, Boleh atau Haram?  Ini Kata Kitab Qurrotul Uyun

Hukumnya makruh bila dikerjakan mulai tanggal 2 Syawal selepas hari Idulfitri. Bahkan mereka mengatakan bahwa puasa 6 hari itu juga disunnahkan di luar bulan Syawal, seperti 6 hari pada bulan Zulhijjah.

Demikianlah perbedaan pendapat di kalangan 4 mazhab, semua terjadi karena tidak ada satu pun nash yang menetapkan puasa Syawal harus dikerjakan dengan begini atau begitu. Dan ketiadaan nash ini memberikan peluang untuk berijtihad di kalangan fuqaha.

Kita boleh menggunakan pendapat yang mana saja, karena semua merupakan hasil
ijtihad para fuqaha kawakan, tentunya mereka sangat mengerti dalil dan hujjah yang
mendukung pendapat mereka.

Dan rasanya aneh kalau kita yang awam ini malah saling menyalahkan antara sesama
yang awam juga. Sebab hak untuk saling menyalahkan tidak pernah ada di tangan kita.

Baca Juga: Hukum Menikah dengan Sepupu Sendiri Menurut Kitab Qurrotul Uyun, Resiko dan Keuntungannya; Pasal Tiga (1)

Jangankan kita, para ulama besar itu pun tidak pernah saling menyalahkan. Meski mereka saling berbeda pendapat, namun hubungan pribadi di antara mereka sangat erat, mesra dan akrab.

Kita tidak pernah mendengar mereka saling mencaci, memaki, atau melecehkan. Padahal mereka jauh lebih berhak untuk membela pendapat mereka. Namun sama sekali kita tidak pernah mendengar perbuatan yang tercela seperti itu.

Hanya orang-orang kurang ilmu saja yang pada hari ini merasa dirinya pusat kebenaran, lalu menganggap bahwa semua orang harus selalu salah. Naudzubillah.***

Editor: Dwi Andri Yatmo

Tags

Terkini

Terpopuler