Mengapa Jepang Dikhawatirkan Akan Lenyap? Inilah Fenomena Penurunan Angka Kelahiran dan Pernikahan

- 4 Maret 2024, 10:00 WIB
Warga Jepang berada di ambang kepunahan setelah angka populasi penduduk mengalami penurunan drastis hingga 800.000. /Reuters/Androniki Christodoulou
Warga Jepang berada di ambang kepunahan setelah angka populasi penduduk mengalami penurunan drastis hingga 800.000. /Reuters/Androniki Christodoulou /

MEDIAPEMALANG.COM - Jepang menghadapi krisis demografi serius yang semakin memburuk dari waktu ke waktu. Penurunan angka kelahiran bayi yang berlangsung selama delapan tahun terakhir menimbulkan kecemasan mendalam, bahkan ada kekhawatiran yang meluas bahwa negara ini mungkin akan menghilang dari peta dunia suatu saat nanti.

Salah satu penyebab utama penurunan ini adalah ketidakmampuan generasi muda untuk memutuskan untuk menikah. Bahkan, angka mereka yang masih lajang semakin meningkat, menimbulkan keprihatinan yang mendalam.

Menurut data terbaru, jumlah kelahiran bayi di Jepang pada tahun 2023 mengalami penurunan yang signifikan, menjadi tren penurunan dalam delapan tahun terakhir. Hal ini menempatkan negara ini di ambang krisis demografi yang mengancam kelangsungan hidupnya.

Baca Juga: Inilah Kronologis Kematian Artis Film Porno Jepang Rina Arano, Sempat Hilang hingga Ditemukan Terikat di Pohon

Selain menurunnya jumlah kelahiran, angka pernikahan juga menurun drastis, turun sebanyak 5,9% menjadi 489.281 pasangan menikah. Ini adalah pertama kalinya dalam 90 tahun angka pernikahan turun di bawah 500 ribu, sebuah fenomena yang juga berkontribusi pada rendahnya angka kelahiran.

Survei menunjukkan bahwa banyak generasi muda Jepang enggan menikah karena berbagai alasan, termasuk kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan yang stabil, biaya hidup yang tinggi, dan lingkungan kerja yang tidak mendukung.

Faktanya, survei yang dilakukan oleh Japanese National Institute of Population and Social Security Research menemukan bahwa sebagian besar perempuan dan pria Jepang di usia 18 hingga 39 tahun tidak memiliki pengalaman seksual. Hal ini menunjukkan adanya masalah sosial ekonomi yang melatarbelakangi fenomena ini.

Perbedaan ekonomi juga memainkan peran penting dalam masalah ini. Laki-laki dengan pendapatan rendah memiliki kemungkinan yang jauh lebih tinggi untuk tetap lajang dibandingkan dengan mereka yang memiliki pendapatan lebih tinggi. Masalah ini menyoroti kompleksitas diskusi tentang seksualitas dan status pernikahan di Jepang, dengan uang seringkali menjadi faktor penentu.

Meskipun tingkat perawan atau perjaka di Jepang pada usia 30-an jauh lebih tinggi daripada di negara-negara lain seperti AS, Inggris, dan Australia, ini seharusnya tidak menjadi stigma.

Halaman:

Editor: Dwi Andri Yatmo


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x