Gelar “haji” yang diperoleh sepulang nanti juga kian menambah citra kesalehan dan kehormatan diri. Dengan demikian status sosial pun meningkat dari “biasa-biasa” saja menjadi “luar biasa”.
Penyakit hati yang mengiringi kondisi ini biasanya adalah sombong, ujub, dan merasa “lebih” daripada orang lain.
Kedua, haji sebagai wahana jalan-jalan dan bersenang-senang. Bagi orang yang belum ke Makkah dan Madinah—apalagi belum pernah ke luar negeri mana pun—haji bisa jadi merupakan kemewahan tersendiri.
Gambaran suasana Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Ka’bah, padang Arafah, atau bukit-bukit di tanah Arab yang biasanya hanya terpampang dalam foto dan media elektronik, akhirnya dialami secara nyata.
Imam al-Ghazali dalam al-Adab fid Dîn berpesan bahwa saat seseorang sampai di kota Makkah seyogianya menerapkan etika-etika yang patut, semisal memasuki Masjidil Haram dengan penuh rasa takzim, menyaksikan Ka’bah sembari takbir dan tahlil, dan lain sebagainya.
Intinya, adab yang penting ditonjolkan adalah sikap rendah hati, sopan, tulus, dan penuh dengan gerak-gerik yang mengagungkan Allah.
Hadirin Jamaah Walimatussafar Haji yang berbahagia dan Khususnya kepada Calon Jamaah Haji
Bagi yang baru pada level ingin berangkat haji, ikhtiar mesti dimulai dari perjuangan menata niat, sembari mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan lain yang senantiasa dilambari dengan doa kepada-Nya.
Semoga kita termasuk orang-orang yang diberi kesempatan berkunjung ke Baitullah dan berziarah ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.